Selamat Datang di zona anti korupsi, Bila ada Temuan Tindak Pidana Korupsi dan Pidana Umum Hubungi : contact person 085720000524

Selasa, 07 November 2017

Apakah Dewan Pers salah Kaprah & Kemungkinan ada Apa'apanya? *Pemasungan Media Berdalih “Terdaftar” Bagaimanakah nasib Media lokal.

Oleh: Edi Winarto, Sekjen Asosiasi Media Digital
 
Saber Sukabumi,.
 
Belakangan ini hampir beberapa instansi dan lembaga pemerintahan memasang Pengumuman “Media Yang Tidak Terdaftar di Dewan Pers Dilarang Ikut Kegiatan”. Sebuah kebijakan yang aneh dan tidak masuk akal. Mungkin juga untuk sebaliknya bagi seluruh instansi dan lembaga pemerintahan di manapun berada sama halnya dengan maksud arti memasang Pengumuman demikian. Oleh sebab itu Sudah selayaknya apabila ada di setiap suatu bentuk program kegiatan / bantuan / kucuran anggaran dari APBD maupun PUSAT dll, terutama untuk pelayanan bagi masyarakat. Seharusnya dipajangkan juga satu persatu, dari segala bentuk jenis kegiatan di Seluruh papan informasi masing masing instansi yang akan di terapkan nya, sekalipun ada yang sifatnya dari jenis program kegiatan yang sangat Rahasia atau fiktif, untuk bisa di ketahui bersama oleh seluruh lapisan masyarakat? "Semoga saja tidak ada yang gagal paham dan terlalu PD pemikiran nya, Bagaimanakah menurut pendapat anda.

Maka pertanyaan nya adalah, Sejak kapan Dewan Pers menjadi lembaga penerbit perijinan perusahaan media? Di dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 tidak mengatur satu pun pasal mengenai Dewan Pers sebagai lembaga penentu ijin sebuah perusahaan media dengan istilah atau kata-kata baru “Terdaftar”. Kalaupun Dewan Pers mengeluarkan Surat atau Peraturan Dewan Pers sifatnya tidak boleh mengikat kecuali UU mengatur dalam pasalnya membolehkan Dewan Pers mengatur media. "Ini yang harus dipahami agar hukum kita tidak ditafsirkan secara luas dan semau gue oleh pihak atau kelompok tertentu untuk kepentingan tertentu dengan membuat “aturan baru’ sesuka hatinya.

Dalam UU Pers, posisi Dewan Pers adalah wadah yang menaungi organisasi pers seperti PWI, AJI, dan IJTI. Artinya lembaga ini berwenang mengatur dan melindungi kepentingan kode etik organisasi yang dinaunginya. Sedangkan ranah perijinan adanya di pemerintahan. Tapi dengan syarat, UU atau Peraturan Pemerintah mengamanahkan atau mengaturnya. Bukan berdasarkan atas kepentingan sekelompok tertentu, dan harus disosialisasikan. Dengan posisi Dewan Pers sebagai pengayom tunggal organisasi pers maka ia punya kewajiban dan tugas melindungi profesi pers dari pelanggaran kode etik jurnalis.

Tapi langkah yang dilakukan Dewan Pers belakangan ini yang berdalih “Mendaftar” media massa sebagai langkah yang keliru. Pendataan media dan perijinan media dilakukan pemerintah atau negara. Seperti misalkan bisnis media penyiaran, ijin atau Surat Ijin Usaha Penyiarannya dikeluarkan Menkominfo bersama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Ijin SIUP ini dikeluarkan sah karena diatur dalam UU Penyiaran. Nah sekarang Dewan Pers juga ingin melakukan pendataan yang konotasinya mirip “Perijinan” karena mempunyai dampak sosial dan dampak hukum. Apakah kebijakan ini dibenarkan?

Sejak kapan Dewan Pers jadi lembaga negara yang mengurusi perijinan media massa dengan istilah baru “Terdaftar”. Begitupun dari Sejak kapan Dewan Pers mengurusi bisnis atau eksistensi media online yang keberadaan media online ada dalam ranah pengaturan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan lembaga Dewan Pers tidak pernah ada dan dicantumkan dalam pasal undang-undang tersebut? Apa dasar hukumnya Dewan Pers menyatakan media itu “Terdaftar” ? Mungkin kedepan akan ada status “Diakui” atau “Disamakan” mirip status lembaga pendidikan. Apakah ada Undang-Undang yang mengatur secara tersirat bahwa ijin media wajib “Terdaftar” di Dewan Pers?
Jika muncul kasus subyek hukum yang merasa difitnah oleh media kemudian mengadukan dan mempidanakan media Online dengan menggunakan UU ITE, apakah UU ITE mencantumkan Dewan Pers dan apakah Dewan Pers bisa melindungi media tersebut dari jeratan hukum ITE? Karena percepatan revolusi teknologi informasi demikian cepatnya dan hukum kita telat mengaturnya.

Terlebih lagi Sejak kapan Dewan Pers jadi “Departemen Penerangan” gaya baru. Siapa yang menjustifikasi? Jika kemudian isu “Media yang Terdaftar” di Dewan Pers ini dijadikan acuan atau pedoman institusi atau lembaga pemerintah untuk menerima media tersebut dan men’cuekin” media yang tidak terdaftar di Dewan Pers, kita akan kembali ke era Orba. Dimana media dipasung dengan dalih “Terdaftar”. Sebuah cara atau bentuk lain dari “SIUPP” di era Orba untuk memasung kebebasan media berekspresi. Hanya saja “pembatasan” media ini merupakan produk dari Dewan Pers yang sebenarnya secara hukum lemah.

Kacau hukum di negara ini kalau Dewan Pers tiba-tiba ikut mengatur bisnis media dengan dalih “Terdaftar” untuk menciptakan “SIUPP” gaya baru di era digitalisasi. Bagaimana dengan info2 di FB dan medsos oleh jurnalis2 relawan dan dadakan yang infonya lebih cepat dan dibaca ribuan orang?
Apakah Dewan Pers juga akan mengatur munculnya jurnalis relawan (citizen journalis)? Jurnalis dadakan dan relawan di medsos bekerja atas dasar suka rela, tidak menerima bayaran atau upah UMR besar ataupun kecil. Begitu juga Perlu di catat, "Jurnalis yang tidak punya kepentingan apapun kecuali memberikan informasi ke publik melalui FB, twiter, instagram atau apapun produk media sosial.

Jurnalis yang tidak menghamba dengan perusahaan media yang dengan kekuatan modalnya mampu mendikte berita dan para jurnalisnya. Justru produk berita dari jurnalis relawan ini sering menjadi trending topik dan viral disimak ribuan pembaca. Sering kasus penganiayaan / pelecehan anak dibawah umur atau kekerasan di sekolah berhasil diungkap oleh para jurnalis relawan ini. Mereka tidak dibayar atau digaji perusahaan media pers dengan upah UMR, tidak membuat produk berita dari liputan jumpa pers yang mohon maaf sering disiapkan uang transport oleh penyelenggara jumpa pers atau narasumber. Juga tidak membuat berita berdasarkan pesanan pemilik media atau pembatasan oleh pemilik media untuk kepentingan bisnis / pecitraan dan politik pemilik media. Para jurnalis dadakan dan relawan ini justru memiliki ritme kebebasan pers yang seutuhnya dan sebenar-benarnya. Mereka justru punya ruang yang sangat luas untuk menjalankan tugas jurnalistik menciptakan peran pers yang berfungsi sebagai alat kontrol sosial. Mereka berkali-kali mampu mengungkap fenomena sosial yang ada di masyarakat yang kemudian menjadi viral dan trending topik.

Lihat saja pada liputan video para jurnalis relawan yang menyebar secara massif di berbagai ruang medsos dan dibaca ribuan netizen mengalahkan media mainstream. Beritanya bahkan viral.
Ada juga berita video menyajikan berita pengendara motor panik dan berhamburan keluar dari jalur busway ketika dicepat Polisi Lantas. Ini fenomena menarik sebuah berita dari sisi lain dari sebuah kebijakan pemerintah soal operasi Zebra yang digelar kepolisian. Berita yang sarat dengan fenomena sosial dan kontrol sosial inilah yang belakangan sudah mulai meredup dimainkan oleh media “Yang Terdaftar” tadi. Sehingga kini masyarakat lebih tertarik dengan suguhan produk berita oleh jurnalis dadakan atau relawan.  "Salam"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar